Neo
Image Hosted by agung

Cerita Balada Sang Tiwul

Tiwul Tidak Lagi Identik dengan Kemiskinan

BAGI Darmantyo, lelaki asal Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, tiwul sangat lekat dalam kehidupannya. Sejak kecil, ia beserta seluruh keluarganya selalu mengonsumsi tiwul untuk makanan sehari-hari.
Bila musim paceklik, Gogik (terbuat dari sisa tiwul yang dikeringkan) juga menjadi menu sehari-hari. ”Nasi bukan menu utama kami,” ujarnya.
Makan tiwul diyakini Darmantyo menyebabkan awet kenyang. Dan menurut pengamatannya, kalangan generasi tua yang pekerja keras di Gunungkidul tak akan puas bila tak makan tiwul. Selain belum merasa kenyang, energinya juga tak terpenuhi. ”Kalau nggak makan tiwul tak betah. Ini persoalan energi. Jadi tiwul itu membuat kita awet kenyang,” ungkapnya.
Sebagai santapan sehari-hari, Darmantyo tahu persis lauk apa yang paling cocok untuk menyantap tiwul, misalnya dengan ikan asin, sambel terasi atau sayur pedas yang terbuat dari santan, cabe dirajang serta dicampur tempe. ”Makan tiwul dengan lauk seperti itu merupakan kenikmatan tersendiri,” ujar darmantyo yang kini tinggal di Yogya dan menjadi karyawan RRI Stasiun Yogya.
Toh sebagai menu sehari-hari di masa kecil sampai remaja, dan tahu nikmatnya makan tiwul, namun Darmantyo sempat dibikin malu. Ceritanya, pada tahun 1979, ketika ia indekos di Wonosari untuk meneruskan sekolah di Sekolah Menengah Umum, ia dibekali orangtuanya sekarung tiwul mentah.
Namun karena ia sadar bila tiwul itu identik dengan makanan rakyat miskin, tiwul mentah itu disembunyikan di suatu tempat. Apa yang terjadi?
Tiwul mentah itu dimakan tikus. Tak ayal lagi, tepung itu bertebaran ke mana-mana. Bisa ditebak, kontan tempat indekos Darmantyo beserta 6 temannya yang lain itu menjadi geger untuk mencari tahu siapa yang punya.
”Saya diam saja, malu mengakui. Tapi mestinya mereka dalam hati pada tahu. Dan hingga kini, mereka tak pernah menyinggung peristiwa itu meski kami sering ketemu. Mungkin mereka merasa kasihan pada saya,” tutur Darmantyo sembari tertawa mengenang peristiwa itu.
Sama halnya dengan Darmaningtyas, yang kini tinggal di Jakarta dan bekerja di Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan yang berkantor di Salemba, Jakarta. Suatu hari, tulis Darmaningtyas dalam bukunya: Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul, ia tengah memasak tiwul. Tiba-tiba saja kawannya datang dan menanyakan sedang memasak apa.
”Kami cepat-cepat mematikan kompor yang masih menyala. Melalui kukus yang menyengat itu pula ibu kos kami mengetahui apa yang sedang kami masak, sehingga kami tidak bisa berbohong,” tulis Darmaningtyas.
Dalam buku itu, Darmaningtyas juga menuturkan bagaimana ia menyiasati membawa tepung tiwul dari rumahnya menuju ke tempat kos di Wonosari.
Selain memilih angkutan yang berangkat paling akhir untuk menghindari ketemu banyak teman, ia juga harus hati-hati meletakkan tepung tiwul yang dibuntal kantong gandum.
Bila meletakkannya tak hati-hati atau sedikit dibanting, akan menebarkan bau apek. ”Aroma khas tepung gaplek itulah yang memancing gelak tawa maupun banyolan sinis dari penumpang lain yang sama-sama masih remaja. Suasana dalam perjalanan itu sungguh menggedor-gedor rasa minder kami,” tuturnya.
Kehidupan telah berubah, seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya perekonomian. Menurut Darmantyo, sejak tahun 90, masyarakat Gunungkidul terutama generasi mudanya sudah jarang makan tiwul. ”Bahkan belakangan ini makan tiwul itu sendiri menjadi gaya hidup tersendiri, semacam klangenan, romantisme,” tutur Darmantyo.
Biasanya, tutur Darmantyo, pengajar di Multi Media Training Center Yogya, yang juga sebagai pengamat sosial, anak-anak muda di Gunungkidul sekarang ini sering melakukan mindo (makan malam sesudah bepergian). Bila ada keramaian atau tontonan, anak-anak muda ini selalu berpesan pada ibunya untuk dimasakkan tiwul yang akan disantap sepulang nonton.
Di keramaian itu, anak-anak muda ini lantas membeli ikan asing kering (gereh) yang sudah digoreng untuk dibawa pulang dan dipakai lauk untuk makan tiwul.
Sekarang malahan ada semacam ”tradisi” untuk makan tiwul bersama. Sesudah senam bareng-bareng di Kecamatan atau di Kelurahan, beberapa warga lantas menyantap Tiwul bareng-bareng.
Keluarga Darmantyo yang kini bermukim di Yogya juga melakukan hal yang sama. Beberapa bulan sekali, mereka kumpul, masak tiwul dan dimakan bareng-bareng.
Jadi ada romantisme pada masa-masa lalu. ”Sekarang ini makan tiwul itu sebuah romantisme. Kecintaan terhadap tanah leluhur,” ungkap Darmantyo, tanpa perlu merasa malu lagi.
Bila hingga kini untuk memasak tiwul perlu dikukus yang mengeluarkan aroma khas–sehingga membuat Darmaningtyas dan mungkin yang lain malu—serta perlu ditambah lauk pauk, dalam waktu dekat lagi cara itu bisa ditinggalkan, dengan diproduksinya tiwul instan.
Selain tak menimbulkan aroma khas, tiwul ini juga bisa disajikan dalam hitungan menit. Hal yang lain, di samping diperkaya gizinya, tiwul instan ini juga disajikan dalam aneka rasa seperti rasa ayam goreng, nasi goreng, ikan asin dan rasa kentang goreng.
”Rasanya seperti mie instan,” komentar Darmantyo, ketika merasakan tiwul instan rasa kentang goreng.
Menurut Darmantyo, bila tiwul instan disajikan seperti itu, tentu tak menjadi masalah. Apalagi bagi orang yang belum pernah merasakan makanan tiwul selama ini.
Namun bagi yang pernah makan tiwul, tentu ada perbedaan. Perbedaan itu, misalnya, secara fisik, bila tiwul yang asli butir-butirnya akan terasa kasar dan besar-besar sehingga ada kesan tersendiri ketika memakannya. Namun tiwul instan butir-butirnya terasa lembut.
”Tapi tak masalah. Kalau tiwul instan ini menjadi seperti ini ini kan pasti menumbuhkan kebanggaan yang lebih besar lagi. Secara psikologis, orang tak lagi merasa rendah kalau makan tiwul. Tak usah go international, produk ini menasional saja, saya kira sudah dengan sendirinya menimbulkan kebanggaan,” tutur Darmantyo.
Dengan berdirinya pabrik tiwul instan di Kecamatan Semanu, Gunungkidul, boleh jadi pasok gaplek dari daerah Gunungkidul sudah memadai. Menurut Bupati Gunungkidul Yoetikno, produksi ketela di daerahnya saat ini mencapai 700.000 ton per tahun, dan bila sudah dikeringkan menjadi gaplek menjadi 400.000 ton.
Artinya, bila kebutuhan pabrik tiwul instan ini perbulannya mencapai 57,6 ton untuk menghasilkan tiwul instan perbulannya 90 ton, maka jelas-jelas bisa dipenuhi.
Karena itulah, Darmantyo berharap keberadaan pabrik tiwul instan ini bisa mengangkat taraf hidup warga Gunungkidul, khususnya petani ketela. Selama ini harga gaplek bila dibandingkan dengan harga beras maka perbandingannya 5:1.
Artinya, 5 kg gaplek bila dijual baru bisa membeli 1 kg beras biasa. Bila keberadaan pabrik ini bisa mengangkat harga gaplek sehingga perbandingannya menjadi 3:1, hal itu dipandang sangat bagus. ”Kalau bisa mengangkat seperti ini sudah bagus,” ujarnya.
Apa yang diungkapkan Darmantyo dibenarkan oleh Sri Handayani, penduduk Gunungkidul yang mempunyai kebun ketela seluas 0,5 hektare. Sebagai warga asli, ia merasa senang bila derajat tiwul terangkat naik.
”Tetapi yang lebih penting, martabat rakyat Gunungkidul sendiri terangkat. Selama ini gaplek Cuma dihargai Rp 450 per kilonya, hanya seperlima dari beras, padahal biaya pemupukan dan tenaganya sangat besar. Paling tidak nanti menjadi Rp 800 atau sepertiga harga beras,” kata bu Sri (50).
Direktur pabrik tiwul instan di kawasan itu, Anton Djuwardi, menjanjikan bahwa kehadiran pabrik tiwul ini akan memberikan kepastian pasar bagi para petani singkong. ”Petani tentu tidak akan dipermainkan oleh tengkulak, karena kami akan membeli dengan harga yang lebih baik,” ujarnya.
Hanya saja, menurut pengamatan Darmantyo, yang mungkin timbul saat ini adalah soal teknologi pertanian. Yang dilihat Darmantyo, selama ini tak ada upaya untuk mentransfer pengetahuan untuk menghadapi industrialisasi tiwul.
Transfer pengetahuan itu misalnya soal tingkat kekeringan gaplek yang bisa diterima oleh pabrik, kemudian jenis ketelanya. Yang dilihat Darmantyo, para petani bila menjemur ketela untuk menjadikan gaplek hanya asal-asalan saja.
”Mestinya soal ini harus segera disosialisasikan. Nah kalau tak segera disosialisasikan akan menimbulkan problem. Walaupun pabriknya ada di Gunungkidul, kalau begini bisa jadi masyarakat Gunungkidul hanya akan menjadi penonton,” ungkapnya.
Menurut Anton, perusahaan tiwul instan yang dipimpinnya, tak hanya sekadar hadir, namun juga disertai visi dan komitmen untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi lokal dalam rangka otonomi daerah.
”Kami akan mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya lokal, baik itu sumber daya manusia, sumberdaya alam ataupun kelembagaan dan infrastrukturnya,” tegas Anton.
Semoga ini bukan sekadar janji kosong. Jika benar, harapan Ibu Sri dan juga Darmantyo agar martabat rakyat Gunungkidul terangkat akan segera menjadi kenyataan.
(SH/yuyuk sugarman)

Makan Tiwul Tanpa Merasa Miskin

0 Comment: